Yang Saya Ceritakan Ketika Saya Mendesain Buku & Kisah Lainnya

Aka Rifai
6 min readMay 17, 2024

--

“Apakah ini bentuk golden ratio?” Tanya salah satu seorang teman yang melihat hasil dummy buku Jemi Batin Tikal versi hardcover ini.

Tanpa pikir panjang, saya langsung meng-iya-kan pertanyaan itu.

Kejadian ini terjadi di salah satu cafe di tengah kota Jogja, saat saya membawanya untuk preview dummy. Buku berjudul Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara tentang Cinta & Puisi-Puisi Lainnya. Penulis Jemi Batin Tikal. Sebelum lanjut, saya akan menyingkat judul buku ini menjadi YTMBKMBTC. Terlalu panjang jika digunakan untuk menamai sebuah file desain.

Oke, buku karya Jemi ini secara keseluruhan merupakan rekam jejak, apa-apa yang ditemui, dilewati, serta direnungkan dalam perjalanannya sekian tahun. Ditemui secara intelektual maupun secara sosial. Barangkali juga terdapat spirit spiritualnya. Jemi dan Tuhan yang tahu. Perjalanannya dari tanah kelahiran, pulau Bangka. Sampai ke tanah rantau, Yogyakarta dan beberapa kota yang pernah disinggahinya.

Dari pengalaman perjalanan yang saya kira cukup panjang ini, puisi-puisi dalam buku ini ditulis, disempurnakan, dan sampai layak dibaca oleh pembaca. Jadilah, buku puisi ini disusun dalam dua bagian: Melawat Keluar dan Melayat ke Dalam.

Dari konsep susunan buku inilah saya mencoba memvisualkannya. Bermula dari desain softcover lalu hardcover. Sebenarnya, wacana hardcover hanya keisengan obrolan kami berdua, saya dan Jemi. Sedikit meromantisasi kesukaan orang mengoleksi buku. Hardcover adalah presentasi buku yang patut dan harus dikoleksi dan diwariskan ke anak cucu tujuh turunan. Saya tertawa saat menuliskan kalimat sebelum ini. Dan seperti biasa, penerbit selalu menerima baik ide kami, Camar Project.

***

Naskah puisi Jemi dan konsep visual yang saya kerjakan, cukup lama untuk berjodoh dengan penerbit. Sebelumnya, si penyair menawarkan ke beberapa penerbit “besar” di Indonesia. Tapi seperti kebanyakan kasus penulis newbie, tidak ada jawaban sama sekali. Walau sekedar seperti balasan chatbot, template. Kacau sih ini. Wah parah, parah, ini sih parah.

Singkat cerita, naskah puisi dan konsep buku ini berjodoh dengan penerbit “kecil” yang lahir dari Jogja, Litani Literasi. Dalam proses terbitnya, desain cover akhirnya banyak mengalami perkembangan dari konsep awal. Litani punya parameter tersendiri untuk calon pembaca buku terbitannya.Tapi itulah desain komunikasi visual, merupakan kerja kolektif.

Akhirnya terwujudlah buku edisi softcover YTMBKMBTC. Presentasi dua cover. Cover luar dengan ukuran setengah dari cover bagian dalam. Memanfaatkan tiga tekstur kertas. Jadi, jika kalian sudah pernah memegang buku ini, kalian akan merasakan tiga macam tekstur kertas. Tekstur cover depan, cover dalam, serta tekstur isi buku.

Softcover Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara tentang Cinta & Puisi-Puisi Lainnya

Kalau kalian sudah membelinya mungkin ada yang beranggapan, “Etdah!, covernya susah bener dilipat mode baca satu halaman”. Atau, “Bjir! Ada-ada aja covernya”. Atau mungkin, “Cuk! Polahe ono wae!”

***

Dari konsep susunan puisi yang diramu Jemi dan kurator Latief S. Nugraha, ada juga proofreader Daffa Randai yang membantu penyempurnaan naskah. Saya memutuskan mengambil dua simbol untuk memvisulakan susunan dan konsep-konsep dari naskah buku puisi ini, yaitu Mata dan Matahari.

“Ini logo Dajjal bukan sih?” tanya salah seorang pembaca menanyakan lewat Jemi.

Mata dan Matahari bagi saya adalah simbol yang cocok dengan konsep keseluruhan naskah puisi Jemi. Ide ini pun sebenarnya ide spontan (uhuy) dari otak saya. Mata punya fungsi untuk melihat apa-apa yang dilewati dalam perjalanan hidup. Sedangkan matahari membuat apa-apa yang dilewati mata, terlihat. Nampak warna merah mencolok dari keseluruhan presentasi buku. Walau sebenarnya yg dominan adalah warna dari kertas isi buku. Bookpapaer.

Kenapa warna merah? Saya mengambil warna dasar RGB. Saat riset kecil-kecilan mengamati desain buku puisi, ada beberapa cover buku puisi yang menarik mata saya. Berwarna biru (blue). Jadilah saya tidak menggunakan warna biru sebagai desain tandingan.

Kenapa enggak hijau? Hijau (green) kurang cocok dengan simbol matahari. Selain itu, untuk pengerjaan cetak offset warna merah cukup direkomendasikan.

Pada edisi hardcover ini pun saya lebih memilih warna merah, mengambil warna yang paling mencolok dari edisi softcover. Sebagai catatan, konsep visual hardcover ini sebenarnya saya kembangkan dari salah satu typography puisi yang saya buat dalam buku puisi ini. Dari sekian proses, berdiskusi dengan Jemi, serta riset visual lebih lanjut, jadilah desain versi hardcover ini. Jika mau tahu lebih jauh typography yang mana, ayo donk beli bukunya. Masa gak beli. Rugi donk! Weka weka weka (ditulis: Wkwkwk)

Hardcover Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara tentang Cinta & Puisi-Puisi Lainnya

***

Tahun 2019-an, ide konsep typography ini saya tawarkan kepada Jemi. Ide ini saya dapatkan dari keisengan saya mengamati presentasi visual buku puisi. Misalnya ada buku puisi yang isi puisi didampingi foto. Didampingi ilustrasi, baik manual atau digital. Terdapat juga puisi yang ditulis tangan dan ada juga tulisan tangan dijadikan aset font. Puisinya terlihat seperti tulisan tangan.

Sedangkan saya mencoba membuat konsep buku puisi yang mungkin “agak beda” dari yang sudah ada sebelumnya, yaitu puisi yang mengangkat kekuatan dari kata itu sendiri, Typography (Tipografi). Typography dalam isi buku ini saya kembangkan dengan pendekatan konten media sosial “kutipan puisi” dan typography poster.

Syukurnya, Jemi mau menerima tawaran konsep ini. Kalau menolak, mungkin ide visual ini enggak (pernah) terwujud.

***

Mari kita lanjut soal hardcover. Kita ulangi cerita dari awal.

“Apakah ini bentuk golden ratio?” Tanya salah satu seorang teman yang melihat hasil dummy buku Jemi Batin Tikal versi hardcover ini.

Tanpa pikir panjang, saya langsung meng-iya-kan pertanyaan itu.

Oh, terlalu panjang. Bertele-tele. Saya persingkat.

“Apakah ini bentuk golden ratio?”

“Iya,” jawabku

Iya. Ide awal dari typography judul buku ini berasal dari golden ratio. Tapi akhirnya seperti desainer kebanyakan. Mencoba menyambungkannya dengan simbol matahari dan mata. Yak, betul! Daun telinga. Salah satu organ penting tubuh manusia. Indera pendengaran manusia.

Golden ratio ini cukup menyerupai outline daun telinga. Akhirnya saya membuat keseluruhan cover dengan typography dengan mengikuti bentuk golden ratio. Cover depan judul buku “YTMBKMBTC” dan cover belakang sub judul buku serta keterangan penulis “dan puisi-puisi lainnya — Jemi Batin Tikal”. Lengkaplah dua daun telinga.

Kata teman saya, kalau makan ceker ayam sebaiknya itu genap, pamali kalau cuma makan satu. Itulah alasan mengada-ada saya. Alasan lainnya, catatan dari Jemi “Kalau bisa cover depan enggak usah ada nama penulis”.

Lantas apa hubungannya dau daun telinga dengan puisi-puisi karya Jemi? Kenapa simbol telinga? Biar apa? Biar byur donk! Mandi itu.

Capek nulis sampai sini. Tenang, tenang, tenang. Saya tidak akan mengulangi cerita golden ratio pembuka cerita ini. Untuk menambah durasi membaca kalian.

Jemi pernah bercerita soal salah satu ide puisinya, yaitu ketika dirinya menemani seorang teman melakukan “penelitian” di salah satu kawasan prostitusi di Jogja. Jemi banyak mendengar kisah-kisah orang yang tinggal di sana. Pahit getirnya kehidupan kelas bawah, cinta, penolakan, hambar dan kerasnya hidup.

Saya menduga, tidak hanya di satu puisi ini dirinya memanfaatkan telinga untuk menambah kekayaan pengalaman perjalanan hidupnya. Tentunya ada puisi lain yang entah ide, susunan kata, atau bahkan rasa yang dirinya dengar menjadi bibit, tunas, pelengkap, atau embrio puisi-puisinya.

Kalau tidak percaya bukalah diskusi dengan Jemi. Pasti dia tidak hanya membeberkan proses kreatifnya, bakal banyak mengungkap hal-hal lain, yang dianggap tidak penting, tapi layak untuk diperbincangkan. Apakah kalian merasa familier dengan kalimat sebelum ini? Iyak betul, program televisi Silet!

Sebagai penutup cerita. Mungkin kalian yang membaca ini atau pembaca tulisan Jemi, bertanya-tanya. Misal “Kok buku puisi presentasinya seperti itu?”. “Kenapa tidak pakai ilustrasi untuk covernya?”. “Atau pakai lukisan?”. “Atau hanya judul dengan latar merah saja?”

Bagi saya mendesain sesuatu itu harus ada kebaruan. Dalam lingkup terkecil, “baru” setidaknya bagi saya pribadi atau Jemi. Namun, saya meyakini, dalam mendesain untuk keperluan komunikasi visual, ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan matang. Ada Parameternya. Seperti target audience, jangkauan visual, proses produksi produk, dan parameter lainnya.

Tabik!

.

.

Portofolio saya di Behance & Instagram

--

--

No responses yet